Posted: 03 Apr 2017 11:51 PM PDT
Perkembangan mutakhir mesin cetak telah membuka peluang terjadinya pembajakan karya ilmiah. Bagaimanakah perlindungan hak cipta karya ilmiah dalam Islam? Bolehkah mengambil upah dari hasil karya tulis tentang agama?
Oleh Ustadz DR. Erwandi Tarmidzi, MA(Artikel ini Pernah Dimuat di Majalah Cetak Pengusaha Muslim Indonesia Edisi Desember 2011) Menulis buku mengenai tuntunan Islam dalam segala sisi kehidupan—akidah, ibadah, muamalah, akhlak atau lainnya—merupakan salah satu cara menyebarkan risalah agama Allah, selain menyebarkan agama secara cara lisan yang telah berlangsung dari generasi ke generasi. Para pembawa risalah nubuwwah menggunakan metode ini dari masa ke masa, hingga sekarang. Sebagai bukti, buku-buku tulisan para ulama Islam sejak abad ke-2 Hijriyah hingga abad ini masih dapat dinikmati oleh generasi sekarang. Buku Imam Malik (wafat pada 179 Hijriyah) yang berjudul Al Muwaththa, yang ditulisnya pada abad ke-2 H, dapat diperoleh di toko-toko buku, bahkan menjadi koleksi perpustakaan di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim. Para ulama Islam dari masa ke masa menghabiskan hidup mereka untuk menulis karya ilmiah. Harapannya dapat menjadi "tabungan" mereka di akherat kelak, kampung nan abadi. Mereka termotivasi oleh sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, “Apabila seorang manusia wafat, amalannya terputus kecuali tiga: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat (yang diajarkan/ditulis) dan anak saleh yang mendoakannya".–HR Muslim Setelah mesin cetak ditemukan, sebuah karya ilmiah sangat mudah digandakan, kemudian diperjual-belikan dengan harga terjangkau. Apakah penulisnya boleh memiliki hak ciptanya, yang kemudian dijual kepada penerbit? Para ulama kontemporer masih berbeda pendapat. Pendapat Pertama Penulis tidak boleh mengambil imbalan atas hak cipta karya ilmiah di bidang keislaman. Jika diambil, termasuk harta haram, mengingat menulis karya ilmiah keislaman adalah ibadah yang dilarang mengambil upah dalam pelaksanaannya. Pendapat ini didukung Prof. Dr. Ahmad Al Kurdi dan Syaikh Abdullah bin Bayyah. (Dr. Husein As Syahrani, Huququl Ikhtira’ wat Ta’lif Fil Fiqh Al Islami, hal 241). Dalil-dalil pendapat pertama:
Tanggapan: Dalil ini tidak kuat. Karena yang dilarang adalah menyembunyikan ilmu, dan bukan mengambil imbalan atas jerih payah penulis, yang menghabiskan waktu dan tenaga tidak sedikit untuk menyusun karya ilmiah. Sungguh ia berhak mendapat imbalan atas waktu dan tenaga yang telah tersita, sebagaimana upah dari setiap pekerjaan lainnya. Kemudian penulis bukannya menyembunyikan ilmu, bahkan sebaliknya, ia menyebarkan ilmu melalui karya ilmiahnya.—Dr. Husein As Syahrani, Huququl Ikhtira’ wat Ta’lif Fil Fiqh Al Islami, hal 263)
Dalil ini juga tidak kuat. Karena menulis mengenai keislaman, sekalipun statusnya ibadah, namun tidak terlarang mengambil upah atas pelaksanaannya, sebagaimana mengajarkan Al-Quran dan ilmu-ilmu keislaman lainnya melalui lisan. Pendapat Kedua Penulis buku mengenai ajaran Islam boleh mengambil upah atas hak cipta penulisannya. Pendapat ini merupakan keputusan berbagai lembaga fiqh internasional. Di antaranya:
Pada waktu itu, para penyalin bertugas sebagai khadim (pembantu) penulis, di mana ia menyalin tulisan gurunya dalam rangka menyelamatkan naskah asli agar tidak punah. Para penyalin sama sekali tidak memiliki tujuan untuk mencari keuntungan duniawi dari penggandaan naskah asli yang ditulis ulama, bahkan sebaliknya mereka melakukan hal tersebut dengan tujuan untuk berkhidmat terhadap ilmu gurunya serta menyebarkannya kepada khalayak ramai. Setelah mesin cetak ditemukan dan bermunculannya usaha penerbitan, keadaan berubah total. Terkadang seorang penulis menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk membuat sebuah karya ilmiyah yang berguna, lalu ia terbitkan dan dijual. Lalu muncul seseorang yang membajak bukunya, mencetaknya ataupun di masukkan ke berbagai media penyimpanan (CD) atau lainnya, kemudian dijual menyaingi cetakan asli penulisnya. Tindakan pembajakan ini membuat para ilmuwan malas berkarya, karena usaha kerasnya akan dicuri orang lain, bila dia sebarluaskan ke tengah masyarakat. Dengan adanya perubahan keadaan dahulu dan sekarang di dunia penulisan ilmiah dan penerbitan, maka dibutuhkan ijitihad baru untuk menetapkan hak orang yang telah bersusah payah. Oleh karena itu, hak cipta penulis, peneliti dan penemu wajib dilindungi syariat. Hak cipta itu adalah milik pembuatnya yang tidak boleh diambil tanpa seizinnya … Demikian juga penerbit yang telah membuat kontrak dengan penulis, tidak berhak mengubah apa pun isi tulisan tanpa izin penulis. Hak cipta dapat diwariskan kepada ahli waris, sebagaimana diatur oleh undang-undang internasional yang tidak bertentangan dengan syariat Islam“.—Qararat Al Majma’ Al Fiqhi Al Islami, hal. 193-194.
Dari fatwa tentang hak paten dapat diqiyaskan hak cipta penulisan karya ilmiah. Dalil-dalil dari pendapat ini:
Hadist ini menunjukkan bahwa boleh mengambil upah sebagai imbalan mengajarkan Al-Quran, maka mengajarkan ilmu-ilmu keislaman yang diambil dari Al-Quran hukumnya juga boleh. Dan mengajarkan ilmu bisa dengan cara lisan dan juga bisa dengan cara tulisan dalam bentuk karya ilmiah. Dengan demikian, mengambil upah atas usaha penulisan karya ilmiah dalam bidang ilmu-ilmu keislaman hukumnya boleh.—Dr. Adil Syahin, Akhzul Maal ala a’malil Qurab, Jilid II, hal. 586
Ibnu Hajar Al Asqalani menjual salah satu bukunya yang dibeli oleh raja Athraf seharga 300 keping uang dinar (± 1,3 kg emas murni). Harga ini juga sebagai imbalan hak cipta dan bukannya pengganti kertas dan tinta. Dan tidak seorang pun ulama yang mengingkari penjualan buku karya tulis tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ‘urf yang berlaku sejak zaman dahulu hingga sekarang bahwa hak penulisan buku adalah milik penulis yang boleh diganti dengan uang.—Dr. Bakr Abu Zaid,” Fiqh An Nawazil, Jilid II, hal. 173 Dari pemaparan di atas, sangat jelas bahwa pendapat yang paling kuat bahwa hak cipta penulisan buku dan karya ilmiah di bidang keislaman adalah milik penulis, ia berhak menjual dengan harga yang disepakati dengan pembeli (penerbit). Dan karena hak cipta adalah hak yang diakui syariat, haram hukum melanggarnya dengan cara membajak, memperbanyak tanpa seizin penulis, menerjemahkan ke dalam bahasa lain atau disimpan pada media seperti compact disc (CD) lalu menjualnya tanpa seizin penulis. Jika tetap dilakukan, sungguh pembajaknya telah mencuri hak orang lain, yang akan dipertanggungjawabkan di dunia dan akherat, karena uang hasil pembajakan merupakan harta haram. Dan bila saja hak cipta menulis buku keislaman, yang merupakan ibadah dilindungi oleh syariat, hak cipta menulis buku-buku ilmiah lainnya yang berguna, hak intelektual sebuah penelitian atau penemuan yang tidak ada kaitannya dengan ibadah … juga dilindungi syariat, dan tidak boleh dibajak dan ditiru tanpa seizin pemilik hak cipta. Allahu a’lam. Pull Quote:
|
Contact Form
Next
« Prev Post
« Prev Post
Previous
Next Post »
Next Post »
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 Komentar